Prolog Di usia senja, Ani kembali ke rumah tua itu, bukan untuk bernostalgia, melainkan untuk menyaksikan bagaimana warisan mengubah adiknya, Ikin, menjadi orang asing. Rumah itu berdiri dengan pongah, meski catnya mengelupas seperti kulit ari luka lama yang belum sembuh. Di balik jendela-jendela yang berderit, bayangan masa lalu menari-nari, membawa serta kenangan pahit dan manis yang kini terasa seperti mimpi buruk. Ani, dengan rambutnya yang sudah memutih bagai kapas di ladang yang ditinggalkan, menatap Ikin dengan tatapan kecewa. Dulu, mereka adalah saudara yang saling melindungi di bawah langit desa yang sama. Sekarang, Ikin berdiri di hadapannya, matanya berkilat bagai koin emas di dasar sumur yang gelap, menggandeng istrinya yang licik, Titi, yang selalu berbisik tentang harta dan kekuasaan seperti ular yang merayu mangsanya. Wasiat Duni adalah bom waktu yang meledak di tengah keluarga mereka, serpihannya menghambur ke segala arah, melukai hati yang...
Ibu, di mana kau kini bersemayam? Di antara bintang yang bersinar di malam? Kehadiranmu, meski tak lagi di sisi, masih terasa hangat dalam sunyi ini. Aku merindukan sentuh lembut tanganmu, aroma kasih yang melekat dalam setiap peluk. Kini hanya ada hening yang menemani, namun cintamu abadi, takkan pernah pergi. Wajahmu terlukis di balik mataku terpejam, doamu masih terdengar dalam hati yang diam. Ibu, meski kita kini berbeda alam, rindu ini tak lekang, tak pernah padam. Setiap doa kupanjatkan untukmu, agar damai menyelimutimu selalu. Ibu, bintang paling terang di langit malam, kau hidup di sini, di dalam setiap hembusan napas yang tenang.